Nick Palfreyman
Jumat 13 September 2013 prdi PLB kedatangan tamu yang berasal dari Inggris. Nick Palfreyman, adalah seorang tunarungu yang sedang menyelesaikan kuliah program S3 nya tentang bahasa isyarat. Penelitiannya tentang bahasa Isyarat yang ada di Indonesia, khususnya Solo dan Makassar. Nick terlahir dengan kondisi pendengaran yang sangat minim, atau dalam istilah PLB disebut dengan hard of hearing. Menginjak usia 14 tahun, ketika Nick terbangun dari tidurnya, pendengarannya sudah hilang sama sekali. Hingga kini Nick dalam kondisi tuli. Kini, dia datang ke Solo untuk mempresentasikan hasil penelitiannya. Kedatagannya ke UNS khuusnya prodi PLB dikemas dalam acara kuliah umum PLB.
Kami para peserta sangat antusias, mengingat ini adalah pengalaman langka. Yang lebih membuat kami antusias, Nick tidak memberikan kuliahnya dengan isyarat, melainkan menggunakan bahasa Indonesia yang sangat fasih. Komunikasi oralnya sangat bagus, seolah-olah dia dalam kondisi memiliki pendengaran yang normal. Bahasa Indonesianya sangat lancar, fasih dan jelas. Tetapi jika ingin bertanya padanya, kita harus menggunakan isyarat karena dia tidak dapat mendengar, atau gunakan jasa penerjemah.
Isyarat
"Pentingnya Bahasa Isyarat dalam Pendidikan Anak Tunarungu", itulah judul dari presentasi Nick yang disampaikan dalam kuliah umum ini. Mulai detik presentasi ini, paradigma kami tentang bahasa isyarat mulai berubah, dan kami ingin bergegas lari dari tempat duduk untuk pergi ke pelatihan bahasa isyarat, dan mendalami bahasa isyarat saat itu juga.
Selama ini yang kami pelajari, metode komunikasi bagi anak tunarungu selalu menekankan metode oral atau membaca gerakan bibir. Pertama-tama, metode oral ternyata di bawa dari Belanda pada tahun 1930. Saat itu Belanda mulai mendirikan sekolah untuk tunarungu yang menggunakan metode oral dalam pengajarannya. Tetapi faktanya, metode oral itu sulit sekali. Coba tebak, berapa persen kata-kata yang ditangkap dengan mata, tanpa pendengaran?
Hanya 30%
Memang benar, coba bayangkan kita menonton berita di TV tanpa suara. sedikitpun tidak akan paham. Nick menjelaskan bagi anak tuli, membaca gerakan bibir itu seperti ketika mengetik pencarian di google. Ketika kita mulai mengetik, akan ada banyak saran-saran di bawahnya. Seperti itulah jadinya jika mengamati gerakan bibir lawan bicaranya, banyak kemungkinan dan sangat sulit.
Contoh, seseorang menyebutkan kata Bapak. Tetapi bagi anak tuli, akan menjadi rancu apakah ituBapak, Papa, atau Mama. Gerakan bibir antara bapak, mama, papa, semua sama.
Sayang sekali keputusan tentang metode pendidikan anak tuli selalu diambil sepihak, padahal tuli tahu apa yang mereka butuhkan. Contohnya saat ini, sekolah SLB tunarungu di kota Solo melarang penggunaan bahasa isyarat. Padahal, anak tidak pernah bisa menangkap apa yang diucapkan oleh guru secara utuh. Sama sepihaknya dengan keputusan yang diambil dalam "Second International Congress on Education of the Deaf" yang diadakan di Milan tahun 1880. Kongres dihadiri oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan anak tuli. Hadir salah satunya adalah Alexander Graham Bell, salah satu orang yang memiliki peran penting dalam pendidikan Helen Keller. Namun sayang sekali tidak ada orang tuli yang hadir dalam kongres itu. Dalam kongres itu mereka mengambil keputusan bahwa bahasa oral harus digunakan dalam pendidikan anak tuli, dan bahasa isyarat harus ditinggalkan. Mulai saat itu, seluruh sekolah anak tuli di Eropa menggunakan metode oral.
Tidak hanya keputusan ICED 2010, bahkan dalam konvensi hak penyandang difabel oleh PBB pun, atau dikenal dengan istilah United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities menyatakan bahwa kita harus memfasilitasi bahasa isyarat bagi tunarungu.
Entah kapan pendidikan akan berpihak kepada anak tunarungu. Tunarungu saat ini masih berjuang, melalui komunitasnya, melalui dunianya, melalui budaya tunarungu.
sumber : http://ilearn-specialeducation.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar