Pertama, kebanyakan anak tuli menggunakan isyarat sebagai cara mereka berkomunikasi. Ini karena telinganya tidak dapat menangkap suara percakapan. Bagaimana jika mereka mengucapkan kata? Kata yang keluar pasti tidak akan jelas, atau bahkan tidak mengeluarkan suara sama sekali. Kebanyakan orang menyebutnya bisu. Jadi, anak tuli biasanya juga bisu, munculah istilah bisu dan tuli.
Kenapa bisa begitu? Aku tahu pemahaman ini sejak kecil, sejak aku belum belajar di Pendidikan Luar Biasa. Aku anggap ini sebagai pengetahuan yang biasa-biasa saja, semua orang pasti paham tentang ini. Tetapi nyatanya, banyak temanku yang tidak paham kenapa anak tuli bisa menjadi bisu, dan anak bisu belum tentu tuli?
Coba pikirkan, pikirkan seolah-olah kalian adalah anak tuli. Bayangkan kalian lahir dalam kondisi tuli, tidak pernah mendengar suara SAMA SEKALI. Komunikasi yang kalian peroleh hanya gerakan bibir orang-orang yang berbicara tanpa ada suara sama sekali. kalian seperti menonton berita di televisi tanpa volume suara. Kalau sudah begini, bagaimana kalian akan belajar berbicara? bagaimana kalian bisa mengenal bahasa? Itulah sebab akibat kenapa anak tuli bisa menjadi bisu. Sedangkan anak dengan kondisi bisu, belum tentu dia tidak dapat mendengar. Dia bisa mendengar, hanya saja organ bicaranya rusak, sehingga mereka tidak dapat berbicara dengan jelas.
Tuli dan BukuSiapa yang paling susah membaca buku? orang dengan cepat menjawab "pasti orang buta, karena mereka tidak dapat melihat". Anak tunarungu pun mengalami kesulitan yang sama.
Pernah suatu hari aku berkunjung ke sebuah komunitas pencinta buku dan menulis. Salah satu dari mereka bertanya "bagaimana jika anak tuli menghadapi buku?". Aku paham mereka menganggap buku segala-galanya dan ingin agar anak tunarungu yang berkomuinkasi menggunakan isyarat mau membaca buku. Aku menjawab "sulit!"
"Kenapa sulit? padahal kalau pendengarannya tidak dapat berfungsi, mereka masih memiliki penglihatan," kata salah satu dari mereka.
Kalian semua pasti tahu membaca itu bukan hanya sekadar kemampuan visual. Membaca bukan hanya melihat, tetapi memahami tulisan dan bahasa. Anak tunarungu bisa membaca. Mereka tahu cara mengeja dan mengucapkan huruf, meskipun tidak sempurna. Tetapi untuk memahami bacaan, tidak semudah itu.
Kembali ke penjelasan awal, tidak dapat mendengar membuat pemerolehan bahasanya terganggu. Kosakata pun terbatas. Dengan kosakata yang sangat terbatas, maka pemahaman mereka atas sebuah tulisan pasti juga sangat terbatas. Alhasil mereka hanya membaca tanpa mengetahui arti bacaannya.
Sekarang bayangkan bagaimana kalian harus menjelaskan makna sebuah kata kepada anak yang tidak dapat mendengar? Bayangkan seorang tunarungu datang menanyakan sebuah kata "konsekuensi". Bagaimana isyarat dapat menjelaskan kata ini? Otomatis dengan memberikan jawaban berupa ejaan kata sama sekali tidak dapat menjelaskan makna kata. Belum lagi menjelaskan kata-kata abstrak lainnya. Seperti kata karena, sebab, maka, ketika, harus, misalnya. Jadi tidak heran jika ada anak tunarungu yang selalu menggunakan kata "tetapi" sebagai kata penghubung. Apapun penghubung yang diperlukan baik karena, ketika, maka, dia selalu menggunakan kata "tetapi".
Contoh : Saya makan tetapi lapar. (Saya makan karena lapar). Dia pergi tetapi hujan (Dia pergi ketika hujan).
Menjelaskan kata abstrak seperti ini kepada anak tunarungu sama sekali tidak mudah. jadi, tunarungu tidak semudah yang kalian pikirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar