Rabu, 24 Juni 2015

PROFESIONALITAS GURU SLB

  1. The expected output menunjukkan tingkat kualifikasi ukuran (standard (norms)) akan menjadi daya penarik (insentif) dan motivasi (motivating factors); jadi akan merupakan stimulating factor (S) pula di samping termasuk ke dalam respons (R) – factor.
  1. Karakteristik peserta didik (rew input) menunjukkan faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu mungkin akan memberikan fasilitas (facilitative) atau pembatasan (limitation) sebagai faktor organismik (Ow) di samping pula mungkin menjadi motivating and stimulating factors (misalnya n-Ach).
  1. Instrumental input menunjukkan kualifikasi serta kelengkapan sarana yang diperlukan untuk dapat berlangsungnya proses belajar-mengajar; jadi jelas perannya sebagai facilitative factorsyang menurut Loree termasuk ke dalam faktor-faktor S.
  1. Environmental input menunjukkan situasi dan keadaan fisik (kampus, sekolah, iklim, letak sekolah, dsb), hubungan antara insani (human relationships), baik dengan teman (classmate, peers) maupun dengan guru dan orang-orang lainnya; hal-hal ini juga akan mungkin menjadi faktor-faktor penunjang atau penghambat (faktor-faktor S).

Memberikan pendidikan yang berkualitas untuk semua anak, terutama bagi anak-anak berkebutuhan khusus merupakan tantangan yang sangat berat. Hal ini terkait dengan semua komponen-komponen pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus yang benar-benar harus dipersiapkan dengan baik. Terutama komponen guru sebagai tiang utama dalam keberhasilan mutu.
Peserta didik dengan tingkat kesulitan/kebutuhan yang berbeda, harus diberikan pelayanan pendidikan oleh tenaga pendidik yang memiliki sumber daya sebagai tenaga pendidik anak-anak berkebutuhan khusus. Sumber daya manusia yang diharapkan adalah sumber daya yang benar-benar berkualitas dan profesional.
A. PROFESIONALITAS GURU SLB
Lembaga pendidikan SLB adalah lembaga pendidikan yang profesional, yang bertujuan membentuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Tanggung jawab pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah terletak ditangan pendidik, yaitu: guru SLB. Itu sebabanya para pendidik harus dididik dalam profesi kependidikan, agar memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efisien dan efektif (Hamalik, 2003: 6).
Profesi menurut Sikun Pribadi dalam Oemar Hamalik (2003: 1) pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Pernyataan janji itu bukan hanya sekedar keluar dari mulutnya, tetapi merupakan ekspresi kepribadiannya dan tampak pada tingkah lakunya sehari-hari. Janji-janji itu biasanya telah digariskan dalam kode etik profesi bersangkutan. Sedangkan Danim (2002:20) profesi yang berasal dari istilah profession atau dalam bahasa latin profecus artinya mengakui, mengakukan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan praktek tertentu. Secara terminologi, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mensyaratkan pendidikan tinggi bagi pelaku yang ditekankan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Merujuk pada definisi ini, maka pendidik – guru SLB merupakan profesi, karena berkaitan dengan kemampuan mental yang mensyaratkan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis.
Suatu profesi erat kaitannya dengan jabatan atau pekerjaan tertentu yang dengan sendirinya menuntut keahlian, pengetahuan, dan keterampilan tertentu. Guru adalah jabatan profesional. Artinya mereka memangku suatu jabatan yang merupakan suatu profesi. Profesi juga merupakan budaya yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk sosial yang dilandasi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, sebagai dasar untuk pengembangan diri dan kemandirian ekonomik (Engkoswara, 2004: 86).
Profesi tidak cukup dengan body of knowledge saja, karena profesi juga harus dibuktikan dengan penerapan dilapangan yang hanya bisa diwujudkan di dunia kerja yang dilakukan berdasarkan kode etik profesi. Oleh sebab itu sertifikasi ijazah yang hanya diperoleh di jalur pendidikan formal belum tentu serta merta menjamin terbentuknya profesi secara utuh. Oleh sebab itu uji kompetensi profesi masih diperlukan untuk memperoleh sertifikasi kompetensi profesi (Nurhadi, 2005: 4).
Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat, apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Guru yang bermutu adalah guru yang profesional. Menurut Danim (2002) untuk melihat apakah guru dapat dikatakan profesional atau tidak, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari tingkatan pendidikan minimal dan latar belakang pendidikan untuk jenjang sekolah tempat ia menjadi guru.Kedua, penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, dan lain-lain. Dengan kata lain seorang guru yang profesional harus memiliki pendidikan yang memadai serta kompetensi yang mantap, yaitu seperangkat penguasaan kemampuan dasar atau kompetensi yang harus dimiliki guru agar ia dapat mewujudkan kinerja profesionalnya secara tepat dan efektif.
Kemampuan dasar yang harus dimiliki sebagai profesionalisasi tugas guru menurut Zainal Aqib (2002: 102-110) adalah:
1. Menguasai bahan, meliputi:
a. Menguasai bahan mata pelajaran dan kurikulum sekolah, meliputi: 1) Mengkaji bahan kurikulum mata pelajaran, 2) Mengkaji isi buku-buku teks mata pelajaran yang bersangkutan, 3) Melaksanakan kegiatan-kegiatan yang disarankan dalam kurikulum mata pelajaran yang bersangkutan.
b. Menguasai bahan pendalaman/aplikasi pelajaran, meliputi: 1) Mempelajari ilmu yang relevan, 2) Mempelajari aplikasi bidang ilmu ke dalam ilmu lain (untuk program-program studi tertentu), 3) Mempelajari cara menilai kurikulum mata pelajaran.
2. Mengelola program belajar mengajar, meliputi:
a. Merumuskan tujuan instruksional, yaitu: 1) Mengkaji kurikulum mata pelajaran, 2) Mempelajari ciri-ciri rumusan tujuan instruksional, 3) Mempelajari tujuan instruksional mata pelajaran yang bersangkutan, 4) Merumuskan tujuan instruksional mata pelajaran yang bersangkutan.
b. Mengenal dan dapat menggunakan metode mengajar, yaitu: 1) Mempelajari macam-macam metode mengajar, dan 2) Menggunakan macam-macam metode mengajar.
c. Memilih dan menyusun prosedur instruksional yang tepat, yaitu: 1) Mempelajari kriteria pemilihan materi dan prosedur mengajar, 2) Menggunakan kriteria pemilihan materi dan prosedur mengajar, 3) Merencanakan program pelajaran, dan 4) Menyusun satuan pelajaran (saat ini dikenal dengan RPP).
d. Melaksanakan program belajar mengajar, yaitu: 1) Mempelajari fungsi dan peran guru dalam instruksi belajar mengajar, 2) Menggunakan alat bantu belajar mengajar, 3) Menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar, 4) Memonitor proses belajar siswa, dan 5) Menyesuaikan rencana program pengajaran dengan situasi kelas.
e. Mengenal kemampuan (entry behavior) anak didik, yaitu: 1) Mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian prestasi belajar, 2) Mempelajari prosedur dan teknik mengidentifikasi kemampuan siswa, dan 3) Menggunakan prosedur dan teknik untuk mengidentifikasi kemampuan siswa.
f. Merencanakan dan melaksanakan pengajaran remidial, yaitu: 1) Mempelajari faktor-faktor penyebab kesulitan belajar, 2) Mendiagnosis kesulitan belajar siswa, 3) Menyusun pengajaran remidial, 4) Melaksanakan pengajaran remedial.
3. Mengelola kelas, meliputi:
a. Mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran, yaitu: 1) Mempelajari macam-macam pengaturan tempat duduk dan setting ruangan kelas sesuai dengan tujuan-tujuan instruksional yang hendak dicapai, dan 2) Mempelajari kriteria penggunaan macam-macam pengaturan tempat duduk dan setting ruangan.
b. Menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi, yaitu: 1) Mempelajari faktor-faktor yang mengganggu iklim belajar mengajar yang serasi, 2) Mempelajari strategi dan prosedur pengelolaan kelas yang bersifat preventif, 3) Menggunakan strategi dan prosedur pengelolaan kelas yang bersifat preventif, dan 4) Menggunakan prosedur pengelolaan kelas yang bersifat kuratif.
4. Menggunakan media sumber, meliputi:
a. Mengenal, memilih, dan menggunakan media, yaitu: 1) Mempelajari macam-macam media pendidikan, 2) Mempelajari kriteria pemilihan media pendidikan, 3) Menggunakan media pendidikan, dan 4) Merawat alat-alat bantu belajar mengajar.
b. Membuat alat-alat bantu pelajaran sederhana, yaitu: 1) Mengenali bahan-bahan yang tersedia di lingkungan sekolah untuk membuat alat-alat bantu, 2) Mempelajari perkakas untuk membuat alat-alat bantu mengajar, dan 3) Menggunakan perkakas untuk membuat alat-alat bantu mengajar.
c. Menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar mengajar, yaitu: 1) Mempelajari cara-cara menggunakan laboratorium, 2) Mempelajari cara-cara dan aturan pengalaman kerja di laboratorium, 3) Berlatih mengatur tata ruang laboratorium, dan 4) Mempelajari cara merawat dan menyimpan alat-alat.
d. Mengembangkan laboratorium, yaitu: 1) Mempelajari fungsi laboratorium dalam proses belajar mengajar, 2) Mempelajari kriteria pemilihan alat, 3) Mempelajari berbagai desain laboratorium, 4) Menilai keefektifan kegiatan laboratoriu, dan 5) Mengembangkan eksperimen baru.
e. Menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar, yaitu: 1) Mempelajari fungsi-fungsi perpustakaan dalam proses belajar, 2) Mempelajari macam-macam sumber perpustakaan,3) Menggnakan macam-macam sumber perpustakaan, 4) Mempelajari kriteria pemilihan sumber perpustakaan, dan 5) Menilai sumber-sumber kepustakaan.
f. Menggunakan micro teaching unit dalam proses belajar mengajar, yaitu: 1) Mempelajari fungsi micro teaching dalam proses belajar mengajar, 2) Menggunakan micro teaching unit dalam proses belajar mengajar, 3) Menyusun program micro teaching dengan atau tanpa hardware, 4) Melaksanakan program micro teaching dengan atau tanpa hardware, 5) Menilai program dan pelaksanaan micro teaching. dan 6) Mengembangkan program-program baru.

"Bahasa Isyarat" Apa boleh???


Itu pertanyaan yang hampir selalu muncul ketika orang tahu aku sedang belajar di Pendidikan Luar Biasa. Pertama tanya “ambil apa di UNS?” aku jawab “Pendidikan Luar Biasa”. Pasti muncul pertanyaan selanjutnya, “apa itu?”. Aku jawab singkat, “Menangani anak berkebutuhan khusus. Singkatnya guru Sekolah Luar Biasa”. Dan muncullah pertanyaan itu. “Bisa bahasa isyarat dong?”.Yah memang PLB mempelajari pendidikan anak berkebutuhan khusus, atau special education. Jadi wajar kalau pertanyaan seputar bahasa isyarat ditanyakan. Tapi sebenarnya, selama kuliah di Pendidikan Luar Biasa, bahasa isyarat sama sekali tidak diajarkan. Ketika aku masih mahasiswa semester awal, aku juga agak heran, campur agak protes. Kenapa keterampilan kompensatoris anak tunarungu malah tidak diajarkan? Semakin lama berjalan, aku semakin paham kenapa isyarat tidak diajarkan di PLB. Isyarat Bukan Bahasa. Aku ingat salah satu guru Bahasa Indonesiaku di SMA, Pak Budi Kusno namanya. Beliau yang mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada bahasa isyarat, isyarat hanya sebuah isyarat, bukan bahasa. Isyarat terdiri dari gerakan tangan yang mengisyaratkan sesuatu. Sedangkan bahasa lebih sistematis lagi. Karena aku bukan orang yang mendalami bahasa, untuk alasan ini silahkan tanya ahlinya. 
Tidak ada penyeragaman isyarat. Isyarat di setiap wilayah pasti berbeda-beda. Jangankan di setiap kota, bahkan di setiap sekolah pun bisa berbeda. Apalagi isyarat di seluruh dunia. Semua memiliki isyarat sendiri-sendiri. Kenapa bisa berbeda? Karena ini adalah isyarat, bukan bahasa. Contoh, dalam satu ruangan ada lima orang normal. Saya perintahkan mereka untuk mengisyaratkan kata “sakit”. Lima orang tadi pasti punya konsep yang berbeda-beda tentang isyarat “sakit”. Ada yang memegang keningnya, ada yang pura-pura pingsan, ada yang merem sambil melet, semua punya persepsi sendiri-sendiri. Maka, wajar kalau di setiap wilayah punya isyarat yang berbeda-beda. Perbedaan isyarat di setiap wilayah ini membuat isyarat seperti bukan sesuatu yang cukup baku untuk dipelajari. Jadi selama di PLB, kita harus belajar isyarat sendiri. Toh ternyata, setelah beberapa kali bertemu anak tunarungu, belajar beberapa kata dasar, kita bisa mengerti apa yang mereka katakan meskipun belum lancar sepenuhnya. Hanya perlu sedikit penyesuaian. Karena dianggap bisa dipelajari secara autodidak, isyarat menjadi tidak terlalu perlu diajarkan di perkuliahan. 
Teori. pelajaran yang aku terima di PLB adalah bahwa kita lebih baik melakukan komunikasi dengan cara oral dibandingkan dengan isyarat. Metode oral adalah membaca ujaran, kita mengucapkan kata-kata dengan gerakan bibir yang jelas, kemudian anak akan membaca gerakan bibir kita. Mereka bisa mengerti gerakan bibir kita jika diucapkan secara jelas dan perlahan. Kenapa lebih baik? Karena dengan kemampuan membaca ujaran, dimungkinkan mereka tidak akan mengalami kendala komunikasi dengan masyarakat luas. Kita mengharapkan mereka dapat hidup bersama dengan masyarakat. Hidup membaur dengan seluruh masyarakat, bukan hanya dengan sekelompok orang yang sama-sama tunarungu. Dosenku di PLB mengatakan, tidak ada masyarakat khusus tunarungu. Sistem kemasyarakatan kita adalah universal, tidak ada RT khusus tunarungu, desa khusus tunarungu, dan sejenisnya. Maka anak tunarungu harus bisa membaur, dan menyesuaikan diri. “Bukan malah yang normal ikut-ikutan jadi tunarungu”, kata dosenku ketika menjelaskan kelemahan bahasa isyarat. 
Dilarang. Rupanya, tidak hanya materi kuliah saja yang tidak mempelajari isyarat. Di lapangan pun, di sekolah-sekolah Luar Biasa untuk kelas tunarungu, penggunaan bahasa isyarat dilarang. “Siswa harus digiring ke dunia dengar”, begitu kata dosenku. Di sekolah tunarungu, guru mengajarkan segala sesuatu dengan metode oral, dan bersuara. Diharapkan anak-anak tunarungu yang masih memiliki sisa pendengaran dapat terbiasa dengan dunia dengar. ketika guru banyak menggunakan isyarat ketika kegiatan belajar mengajar, kepala sekolah langsung mengingatkan untuk tidak lagi menggunakan isyarat. Itu yang dialami salah satu senior yang sudah lulus dan mengajar untuk kelas tunarungu. Banyak teman-teman mengatakan bukan hanya kepala sekolah saja yang melarang penggunaan bahasa isyarat, bahkan wali murid pun lebih menghendaki anak-anaknya mendapatkan pengajaran dengan metode oral agar mereka dapat lebih menguasai keterampilan komunikasi. Tetap saja, dengan seabrek alasan di atas, pada kali pertama mendengar kata PLB, orang tidak akan mau tahu apakah Isyarat diajarkan atau tidak, dan apakah isyarat ini penting atau tidak. Orang tetap menganggap bahwa PLB identik dengan bahasa isyarat. Maka, kemampuan isyarat ini tetap penting bagi mahasiswa PLB. Kita sebagai mahasiswa PLB, dengan label “Pendidikan Luar Biasa” harus menguasai isyarat. Bayangkan ketika sebuah situasi mendesak terjadi. Contohnya ada orang tunarungu yang tidak bisa komunikasi oral, dia bertanya banyak menggunakan bahasa isyarat. Siapa yang pertama kali dipanggil untuk menjadi penerjemah? Pasti mahasiswa PLB. Bayangkan kalau mahasiswa PLB mengatakan “saya tidak bisa isyarat”, pasti yang ada kita disalahkan. “Trus di PLB belajar apa? katanya Pendidikan luar Biasa, masak gak bisa isyarat

Apa itu "Tuna Rungu"


Apa itu tunarungu? Yang orang tahu, tunarungu adalah orang yang tidak dapat mendengar, TITIK. Sebenarnya, menjelaskan tunarungu atau tuli tidak semudah itu. Bukan hanya dia tidak bisa mendengar, lalu selesai begitu saja.
Pertama, kebanyakan anak tuli menggunakan isyarat sebagai cara mereka berkomunikasi. Ini karena telinganya tidak dapat menangkap suara percakapan. Bagaimana jika mereka mengucapkan kata? Kata yang keluar pasti tidak akan jelas, atau bahkan tidak mengeluarkan suara sama sekali. Kebanyakan orang menyebutnya bisu. Jadi, anak tuli biasanya juga bisu, munculah istilah bisu dan tuli.
Kenapa bisa begitu? Aku tahu pemahaman ini sejak kecil, sejak aku belum belajar di Pendidikan Luar Biasa. Aku anggap ini sebagai pengetahuan yang biasa-biasa saja, semua orang pasti paham tentang ini. Tetapi nyatanya, banyak temanku yang tidak paham kenapa anak tuli bisa menjadi bisu, dan anak bisu belum tentu tuli?
Coba pikirkan, pikirkan seolah-olah kalian adalah anak tuli. Bayangkan kalian lahir dalam kondisi tuli, tidak pernah mendengar suara SAMA SEKALI. Komunikasi yang kalian peroleh hanya gerakan bibir orang-orang yang berbicara tanpa ada suara sama sekali. kalian seperti menonton berita di televisi tanpa volume suara. Kalau sudah begini, bagaimana kalian akan belajar berbicara? bagaimana kalian bisa mengenal bahasa? Itulah sebab akibat kenapa anak tuli bisa menjadi bisu. Sedangkan anak dengan kondisi bisu, belum tentu dia tidak dapat mendengar. Dia bisa mendengar, hanya saja organ bicaranya rusak, sehingga mereka tidak dapat berbicara dengan jelas.
Tuli dan BukuSiapa yang paling susah membaca buku? orang dengan cepat menjawab "pasti orang buta, karena mereka tidak dapat melihat". Anak tunarungu pun mengalami kesulitan yang sama.
Pernah suatu hari aku berkunjung ke sebuah komunitas pencinta buku dan menulis. Salah satu dari mereka bertanya "bagaimana jika anak tuli menghadapi buku?". Aku paham mereka menganggap buku segala-galanya dan ingin agar anak tunarungu yang berkomuinkasi menggunakan isyarat mau membaca buku. Aku menjawab "sulit!"
"Kenapa sulit? padahal kalau pendengarannya tidak dapat berfungsi, mereka masih memiliki penglihatan," kata salah satu dari mereka.
Kalian semua pasti tahu membaca itu bukan hanya sekadar kemampuan visual. Membaca bukan hanya melihat, tetapi memahami tulisan dan bahasa. Anak tunarungu bisa membaca. Mereka tahu cara mengeja dan mengucapkan huruf, meskipun tidak sempurna. Tetapi untuk memahami bacaan, tidak semudah itu.
Kembali ke penjelasan awal, tidak dapat mendengar membuat pemerolehan bahasanya terganggu. Kosakata pun terbatas. Dengan kosakata yang sangat terbatas, maka pemahaman mereka atas sebuah tulisan pasti juga sangat terbatas. Alhasil mereka hanya membaca tanpa mengetahui arti bacaannya.
Sekarang bayangkan bagaimana kalian harus menjelaskan makna sebuah kata kepada anak yang tidak dapat mendengar? Bayangkan seorang tunarungu datang menanyakan sebuah kata "konsekuensi". Bagaimana isyarat dapat menjelaskan kata ini? Otomatis dengan memberikan jawaban berupa ejaan kata sama sekali tidak dapat menjelaskan makna kata. Belum lagi menjelaskan kata-kata abstrak lainnya. Seperti kata karena, sebab, maka, ketika, harus, misalnya. Jadi tidak heran jika ada anak tunarungu yang selalu menggunakan kata "tetapi" sebagai kata penghubung. Apapun penghubung yang diperlukan baik karena, ketika, maka, dia selalu menggunakan kata "tetapi".
Contoh : Saya makan tetapi lapar. (Saya makan karena lapar). Dia pergi tetapi hujan (Dia pergi ketika hujan).
Menjelaskan kata abstrak seperti ini kepada anak tunarungu sama sekali tidak mudah. jadi, tunarungu tidak semudah yang kalian pikirkan.

Alat Bantu Untuk Tuna Netra


Semua orang pasti ingin hidup mandiri tanpa tergantung dengan oranglain. Masalahnya sekarang Bagaimana dengan orang yang memiliki gangguan seperti gangguan penglihatan? Mereka memerlukan alat khusus untuk membantu mereka bergerak, berpindah tempat atau bahkan melakukan perjalanan. Berikut alat bantu yang mereka butuhkan :

1. 
White Cane (Tongkat putih) : Tongkat panjang, berwarna putih dengan ujung berwana merah. Tongkat ini dapat memperluas jangkauan pengguna dan mendeteksi adanya rintangan di hadapannya. Namun beberapa orang memilih menggunakan jenis tongkat lain yang lebih pendek dan ringan. Semuanya tergantung pada kebutuhan masing-masing individu.  2. 
Anjing Pemandu : Anjing ini dilatih untuk mendeteksi berbagai hambatan dan untuk menunjukkan kapan melangkah turun atau melangkah naik (seperti naik atau turun tangga). Kelemahannya adalah anjing tidak mengerti arah yang kompleks. Artinya anjing tidak tahu kemana harus melangkah untuk mencapai tempat tujuan. Pawanglah yang harus mengetahui ke mana arah yang benar dan anjing hanya memandu agar pawang selamat.
3. 
GPS untuk tunanetra : Perangkat lunak ini dapat membantu penyandang tunanetra dengan orientasi dan navigasi. Namun alat ini tidak dapat menggantikan alat tradisional seperti tongkat dan anjing pemandu.

Tekhnologi Braille

Teknologi modern kini menyediakan berbagai macam alat untuk menulis huruf braille. Beberapa masih menggunakan alat yang murah dan sederhana, namun beberapa sudah menggunakan alat yang kompleks dan lebih mahal. Berikut ini adalah beberapa teknologi yang biasa digunakan untuk menulis braille.
1. Slate dan Stylus
1. Slate dan stylus
2. Slate
seperti yang terlihat di gambar, slate terdiri dari dua lempeng yang disatukan dengan engsel di salah satu tepinya sehingga dengan mudah dapat dibuka atau di tutup. Biasanya slate terbuat dari plastik atau besi. penggunaannya    kertas diapit diantara slate. Sisi yang bawah terdiri dari kotak-kotak yang berisi 6 titik. Titik-titik ini cekung, fuungsinya agar tulisan kita rapi dan teratur. Sedangkan yang atas terdiri dari lubang-lubang persegi panang untuk menulis braille. Sedangkan stylus adalah alat seperti jarum. Digunakan untuk melubangi kertas dengan menusuknya. Bekas tusukan pada kertas akan menjadi timbul karena cekungan titik-titik pada dasar slate.
3. stylus
2Braille DisplayBraille display adalah alat untuk mengkonversi teks menjadi karakter braille yang dapat dibaca pada displaynya. Alat ini dihubungkan ke CPU untuk menerima teks dan berfungsi sebagai monitor. Informasi yang ada di layar akan ditampilkan pada braille display baris demi baris. Hal ini memungkinkan tunanetra dapat mengakses komputer. Braille display biasanya diletakkan di bawah keyboard komputer
3. Electronic Braille Notetakers
Electronic Braille display
Adalah alat elektronik portable, dengan keyboard braille. Alat ini berfungsi untuk memasukkan informasi atau data dan dapat diolah kembali. Notetakers juga dapat digunakan untuk mengakses internet. Juga terdapat layanan jam, tanggal, dan stopwatch. Alat ini menggunakan speech synthesizer atau braille display sebagai output.
4. Braille Printers (Embossers)
Braille printer dihubungkan ke komputer, dan cara kerjanya sama seperti printer pada umumnya. Hanya saja hasilnya berupa tulisan braille, sehingga kertas yang digunakan untuk mencetak data harus kertas yang tebal. 
5. BraillewritersBraille writer hampir sama seperti mesin ketik dan tidak memerlukan energi listrik untuk menggunakannya. Kertas yang digunakan juga harus tebal. braillewriter memiliki enam tombol, yang masing masing untuk satu titik di braille cell, space bar dan backspace key . 
 

Inklusi

Bagi orang awam, mungkin asing dengan kata inklusi. Makanya, saya akan menjelaskan inklusi secara singkat supaya semua orang dapat memahami.



Singkatnya, Inklusi adalah model pendidikan integrasi. Dalam hal ini, maksudnya adalah penyatuan pendidikan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal, lawan dari model sekolah segregasi. Jika dalam model segregasi terjadi pemisahan antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal atau yang selama ini kita kenal dengan sebutan Sekolah Luar Biasa (SLB), maka dalam pendidikan integrasi anak berkebutuhan khusus menikmati pendidikan di tempat yang sama dengan anak normal. Itulah yang disebut dengan inklusi.

Baru-baru ini sekolah inklusi tengah digencarkan. Sesuai dengan peraturan menteri pendidikan Nasional RI nomor 70 tahun 2009 menyebutkan bahwa setiap kecamatan wajib terdapat satu sekolah Inklusi. Artinya dalam satu kecamatan, minimal satu sekolah umum harus mau menerima anak berkebutuhan khusus sebagai peserta didiknya. Inklusi adalah implementasi dari jargon "Education for All", pendidikan untuk semua, semua berhak menikmati pendidikan. 


Namun menurut salah satu dosen saya Misdi, S.Pd, Inklusi bukanlah sekolah pencampur adukan antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal. Anak berkebutuhan khusus yang akan masuk di sekolah Inklusi harus melalui bimbingan atau pelatihan intensif agar dapat mengikuti pembelajaran di sekolah inklusi dengan baik. 

Esensi dari sekolah inklusi adalah sekolah bebas diskriminasi. Prof. Dr. Sunardi, M.Sc mengatakan cita-cita pendidikan di masa depan adalah hanya anak berkebutuhan khusus berat dan benar-benar tidak mampu mengikuti pembelajaran di sekolah umum saja yang masuk sekolah Luar Biasa, di luar itu anak berhak mengikuti pendidikan di sekolah umum meskipun dengan keterbatasan yang ia miliki.

Tuna Netra

Secara etimologi, kata "tuna" berarti rusak, "netra" berarti mata atau penglihatan. Secara umum tunanetra berarti rusaknya penglihatan sehinggga individu mengalami hambatan atau gangguan dalam penglihatannya. Masyarakat umum yang awam cenderung menganggap bahwa tunanetra adalah seseorang yang tidak dapat melihat sama sekali. Padahal tidak semua tunanetra adalah buta. Itu berarti tidak semua penyandang tuna netra adalah tidak bisa melihat sama sekali. Masih ada penyandang tuna netra yang tidak termasuk di dalamnya. Mereka adalah yang masih dapat melihat tetapi sangat terbatas atau low vision. Menurut Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak dapat menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata. Pengertian tunanetra memang terdiri dari banyak versi, tergantung dari sudut pandang mana dan kebutuhannya. Frans Harsana Sasraningrat mengatakan bahwa tunanetra ialah suatu kondisi dari indera penglihatan atau mata yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi itu disebabkan oleh karena kerusakan pada mata, syaraf optik dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual . Daniel P Hallahan dan James M Kauffman memberikan batasan mengenai tunanetra sebagai berikut:For educational purposes, the blind person is one whose sight is so severaly impaired that he or she must be taught to read by Braille or by aural methods (audiotapes and records). The partially sighted person can read print even though magnifying devices or large-print books may be needed . 
Dalam bidang pendidikan, tunanetra adalah individu yang tidak dapat menggunakan media seperti siswa / anak awas pada umumnya. 

Valentin Hauy "Pelopor Pendidikan Anak Tuna Netra"



Valentin Haüy lahir pada tahun 1745. Dia adalah pendiri the Institute for Blind Youth yang didirikan pada tahun 1784. Sekolah ini adalah sekolah tunanetra pertama di dunia. Di sekolah inilah Louise Braille, penemu huruf braille bersekolah. 
Valentin Haüy dilahirkan di tengah keluarga penenun. Para biarawan mendidik Valentin sehingga dia menguasai sepuluh bahasa. Pada tahun 1783 ia dinobatkan sebagai penerjemah raja Louis XVI. Haüy terdorong untuk membantu orang buta, dimulai pada tahun 1771 saat dia berhenti untuk makan siang di sebuah kafe di Lace de la Concorde, Paris. Disana dia melihat pertunjukkan ansambel orang buta dari sebuah rumah sakit yang diejek dan ditertawakan oleh semua orang yang menonton. Mereka diberi topi bodoh yang terbuat dari kertas, gelas katon besar, lalu diberi perintah untuk memainkan instrumen mereka sehinga menghasilkan keributan.
Setelah melihat perlakuan yang tidak manusiawi tersebut, Valentin Haüy memutuskan untuk mendirikan sebuah sekolah tunanetra. Pada tahun 1784 di bulan Juni, Haüy bertemu dengan seorang anak laki-laki berusia 17 tahun bernama François Le Sueur yang menjadi murid pertamanya. Haüy mengajarinya menulis dan membaca dengan buku timbul. Pada Sempember 1784, Haüy mengumumkan keberhasilanya dalam mendidik siswa tunanetra  di Journal de Paris. Valentin Haüy kemudian dikenal sebagai pelopor pendidikan unuk anak tunanetra.

Huruf Braille

Huruf Braille adalah huruf yang cara membacanya dengan diraba yang digunakan oleh tunanetra. Huruf ini diciptakan oleh Louise Braille. Satuan dasar dari sistem penulisan ini disebut sel braille, setiap sel terdiri dari 6 titik timbul. Sel braille dinomorkan sebagai berikut
Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol matematika dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi horizontal dan vertikal antar titik dalam sel sebesar 2.5 mm.Braille boleh dihasilkan menggunakan batuan loh ( slate) dan stilus ( stylus ) di mana titik dihasilkan daripada belakang muka kertas, menulis dengan gambar cermin, menggunakan tangan, atau menggunakan mesin taip Braille yang dikenali sebagai Perkins Brailler. Braille juga dapat dihasilkan menggunakan mesin cetak Braille yang disambung kepada komputer. berikut ini adalah huruf braille : 


Hak Isyarat Bagi Tuna Rungu

Metode komunikasi isyarat bagi tunarungu ternyata masih menuai pro dan kontra. Ternyata tidak semudah itu menentukan metode pengajaran mana yang tepat untuk anak berkebutuhan khusus. Ulasan tentang isyarat sudah pernah di tayangkan di blog ini sebelumnya, dan dapat dibaca di sini. Terbukti begitu post dipublikasikan, muncul komentar kontra dari mahasiswa Pendidikan Luar Biasa yang mengatakan bahwa isyarat sangat penting bagi tunarungu. Para anggota komunitas tuli saat ini di Kota Solo sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan bahasa isyarat sebagai hak aksesibilitasnya. Terus terang saya tidak peduli tentang hal itu. Sudah saya jelaskan di postingan sebelumnya seputar bahasa isyarat, kenapa isyarat menjadi tidak begitu penting. Namun paradigma ini berubah setelah mengikuti kuliah umum oleh Nick Palfreyman.

Nick Palfreyman
Jumat 13 September 2013 prdi PLB kedatangan tamu yang berasal dari Inggris. Nick Palfreyman, adalah seorang tunarungu yang sedang menyelesaikan kuliah program S3 nya tentang bahasa isyarat. Penelitiannya tentang bahasa Isyarat yang ada di Indonesia, khususnya Solo dan Makassar. Nick terlahir dengan kondisi pendengaran yang sangat minim, atau dalam istilah PLB disebut dengan hard of hearing. Menginjak usia 14 tahun, ketika Nick terbangun dari tidurnya, pendengarannya sudah hilang sama sekali. Hingga kini Nick dalam kondisi tuli. Kini, dia datang ke Solo untuk mempresentasikan hasil penelitiannya. Kedatagannya ke UNS khuusnya prodi PLB dikemas dalam acara kuliah umum PLB. 
Kami para peserta sangat antusias, mengingat ini adalah pengalaman langka. Yang lebih membuat kami antusias, Nick tidak memberikan kuliahnya dengan isyarat, melainkan menggunakan bahasa Indonesia yang sangat fasih. Komunikasi oralnya sangat bagus, seolah-olah dia dalam kondisi memiliki pendengaran yang normal. Bahasa Indonesianya sangat lancar, fasih dan jelas. Tetapi jika ingin bertanya padanya, kita harus menggunakan isyarat karena dia tidak dapat mendengar, atau gunakan jasa penerjemah. 

Isyarat
"Pentingnya Bahasa Isyarat dalam Pendidikan Anak Tunarungu", itulah judul dari presentasi Nick yang disampaikan dalam kuliah umum ini. Mulai detik presentasi ini, paradigma kami tentang bahasa isyarat mulai berubah, dan kami ingin bergegas lari dari tempat duduk untuk pergi ke pelatihan bahasa isyarat, dan mendalami bahasa isyarat saat itu juga. 

Selama ini yang kami pelajari, metode komunikasi bagi anak tunarungu selalu menekankan metode oral atau membaca gerakan bibir. Pertama-tama, metode oral ternyata di bawa dari Belanda pada tahun 1930. Saat itu Belanda mulai mendirikan sekolah untuk tunarungu yang menggunakan metode oral dalam pengajarannya. Tetapi faktanya, metode oral itu sulit sekali. Coba tebak, berapa persen kata-kata yang ditangkap dengan mata, tanpa pendengaran?
Hanya 30%
Memang benar, coba bayangkan kita menonton berita di TV tanpa suara. sedikitpun tidak akan paham. Nick menjelaskan bagi anak tuli, membaca gerakan bibir itu seperti ketika mengetik pencarian di google. Ketika kita mulai mengetik, akan ada banyak saran-saran di bawahnya. Seperti itulah jadinya jika mengamati gerakan bibir lawan bicaranya, banyak kemungkinan dan sangat sulit. 

Contoh, seseorang menyebutkan kata Bapak. Tetapi bagi anak tuli, akan menjadi rancu apakah ituBapak, Papa, atau Mama. Gerakan bibir antara bapak, mama, papa, semua sama. 

Sayang sekali keputusan tentang metode pendidikan anak tuli selalu diambil sepihak, padahal tuli tahu apa yang mereka butuhkan. Contohnya saat ini, sekolah SLB tunarungu di kota Solo melarang penggunaan bahasa isyarat. Padahal, anak tidak pernah bisa menangkap apa yang diucapkan oleh guru secara utuh. Sama sepihaknya dengan keputusan yang diambil dalam "Second International Congress on Education of the Deaf" yang diadakan di Milan tahun 1880. Kongres dihadiri oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan anak tuli. Hadir salah satunya adalah Alexander Graham Bell, salah satu orang yang memiliki peran penting dalam pendidikan Helen Keller. Namun sayang sekali tidak ada orang tuli yang hadir dalam kongres itu. Dalam kongres itu mereka mengambil keputusan bahwa bahasa oral harus digunakan dalam pendidikan anak tuli, dan bahasa isyarat harus ditinggalkan. Mulai saat itu, seluruh sekolah anak tuli di Eropa menggunakan metode oral. 

Baru pada tahun 2010 ICED (International Congress on the Education of the DEAF) di gelar di Kanada. Salah satu pembahasannya adalah menolak keputusan kongres Milan 1880 yang melarang penggunaan isyarat. Menurut Nick, baru pada kongres ini mereka meminta maaf atas semua "kerusakan" yang selama ini terjadi, dan bahasa isyaratpun kembali digunakan dalam dunia pendidikan. Namun, ternyata sejak kongres itu, butuh waktu yang sangat lama untuk memperbaiki sistem pendidikan anak tuli dan melindungi budaya dunia tunarungu. Hingga kini, lepas dua tahun setelah kongres tersebut, dunia pendidikan masih mementingkan komunikasi oral. Padahal jelas, oral sudah ketinggalam jaman. 

Tidak hanya keputusan ICED 2010, bahkan dalam konvensi hak penyandang difabel oleh PBB pun, atau dikenal dengan istilah United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities menyatakan bahwa kita harus memfasilitasi bahasa isyarat bagi tunarungu. 


Entah kapan pendidikan akan berpihak kepada anak tunarungu. Tunarungu saat ini masih berjuang, melalui komunitasnya, melalui dunianya, melalui budaya tunarungu. 

sumber : http://ilearn-specialeducation.blogspot.com/

Jika Tak Ada Hambatan Kecerdasan, Tempat Belajar Terbaik Anak-Anak Tunanetra Adalah Di Sekolah Reguler

Senin, 12 Januari 2015
Pagi itu saya memulai hari dengan meluncur ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Saya diundang menjadi narasumber pada “case conference” mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) semester pertama universitas tersebut. Selama satu semester, mereka mengikuti mata kuliah yang membahas persepsi tentang tunanetra. Dan DR. Asep Supena, dosen pengampu mata kuliah tersebut menugasi mereka melakukan pengamatan langsung bagaimana tunanetra menjalani kehidupan sehari-hari di keluarga, atau di sekolah. Para mahasiswa kemudian diminta menuliskan hasil pengamatan mereka dalam bentuk buku kecil yang dicetak secara sederhana, serta diminta untuk mempresentasikannya dalam sebuah “case conference”.
Di samping saya, hadir pula dua orang tunanetra lain yang juga diminta menjadi narasumber, yaitu mahasiswa jurusan PLB yang sedang menyusun skripsi, serta seorang tunanetra ibu rumah tangga dan memiliki 4 orang anak,tiga di antaranya juga tunanetra.
Bagi saya, undangan menghadiri pertemuan semacam ini saya anggap sangat penting. Mahasiswa jurusan PLB kela akan menjadi salah satu ujung tombak pendidikan anak-anak tunanetra di negeri ini. Mereka perlu memiliki persepsi dan keyakinan yang benar tentang bagaimana pendidikan anak-anak tunanetra dan disabilitas pada umumnya. Persepsi dan keyakinan yang benar ini akan mempengaruhi cara pikir, sikap dan perilaku mereka saat menjadi guru kelak.
Telah sering saya menerima informasi secara lisan dari teman-teman tunanetra, bahwa sebagian guru-guru SLB melarang anak-anak tunanetra melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi ke sekolah reguler –sekolah umum bukan SLB. Berbagai alasan mereka kemukakan, berbagai cara pun mereka lakukan, dengan satu tujuan agar anak-anak tunanetra tetap tinggal dan bersekolah di SLB hingga menyelesaikan pendidikan 12 tahun. Padahal anak-anak tunanetra tersebut tidak memiliki hambatan kecerdasan, yang semestinya dapat melanjutkan pendidikan lebih tinggi ke sekolah reguler setelah menyelesaikan sekolah dasar di SLB. Yang sebenarnya terjadi adalah guru-guru SLB tersebut khawatir kehilangan murid, jika anak-anak tunanetra melanjutkan pendidikan ke sekolah reguler.
Saat menerima undangan dari Sang Dosen, saya sudah merencanakan bahwa saya harus mengatakan sesuatu pada calon-calon guru ini. Suatu keyakinan yang telah dibuktikan secara nyata oleh tunanetra di dunia ini, yang saat ini telah berkiprah di masyarakat. Keyakinan yang telah dibangun menjadi sebua gerakan berskala global untuk membawa dan terus membawa lebih banyak anak-anak tunanetra bersekolah ke sekolah reguler, yang disebut “pendidikan inklusif”.
“Jika anak-anak tunanetra tak memiliki hambatan kecerdasan, tempat belajar terbaik untuk mereka adalah di sekolah reguler bersama anak-anak yang tidak tunanetra”. Kalimat itu saya katakan beberapa kali sepanjang saya menjalankan tugas sebagai nara sumber. “Saya adalah produk dari keyakinan tersebut”, kalimat itu saya nyatakan untuk lebih meyakinkan mereka. Saya pun menceritakan kelebihan apa yang saya dapatkan saat saya menempuh pendidikan di sekolah reguler, hingga saya menjadi sosok mandiri dan dapat berkarya di masyarakat seperti sekarang. Di antaranya, belajar bersosialisasi dengan mereka yang tidak menyandang disabilitas; menumbuhkan semangat bersaing yang sehat karena jumlah siswa di sekolah reguler jauh lebih banyak dibanding jumlah siswa di SLB; pengalaman-pengalaman berharga dalam bentuk bermain dan bekerja sama dengan teman-teman yang tidak tunanetra yang tidak akan saya dapatkan dengan begitu maksimal jika saya menempuh pendidikan di SLB; dan sebagainya.
Saya juga mengajak para mahasiswa agar membangun persepsi yang benar tentang “disabilitas”. Mulai dari penggunaan istilah, agar tidak lagi menggunakan kata “penyandang cacat” yang berkonotasi sangat negatif. Hingga ajakan untuk memaknai disabilitas sebagai bagian dari perbedaan, dan apa alasan di balik itu semua. “Perbedaan karena disabilitas berdampak pada munculnya kebutuhan khusus, dan kebutuhan khusus itu harus dipenuhi oleh lingkungan, termasuk kebutuhan khusus di bidang pendidikan”.
“Menjadi tunanetra itu bukan pilihan. Menjadi tunanetra adalah fakta yang harus diterima dan dijalani. “Tunanetra tidak akan terhambat dalam menjalani kehidupan sehari-hari jika lingkungan memberikan dukungan positif”. “Dukungan diberikan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan khusus mereka”.
Menjadi tugas Pemerintah untuk membangun kebijakan yang mengakomodasikan pemenuhan kebutuhan khusus warga negara penyandang disabilitas. Dorongan agar pemerintah membangun kebijakan dalam pemenuhan kebutuhan khusus warga negara penyandang disabilitas saat ini dilakukan antara lain dalam bentuk mendorong proses legislasi pengesahan rancangan undang-undang disabilitas baru, menggantikan undang-undang yang saat ini ada – Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 – yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Tahun lalu, pada sidang paripurna terakhir masa sidang Oktober-Desember 2014, Ketua DPR telah menyatakan bahwa pembahasan RUU disabilitas akan menjadi prioritas tahun ini.

sumber : http://www.mitranetra.or.id/

Pendidikan Luar Biasa

“Pendidikan adalah hak semua manusia.”
Kalimat di atas adalah dasar dari munculnya program studi yang satu ini,mungkin awalnya orang akan langsung terheran ketika mendengar ada mahasiswa yang menempuh prorgam studi satu ini,malah biasanya mahasiswa tersebut bakal di wawancarai dengan berbagai pertanyaan yang kadang menggelitik atau bahkan bersifat konyol. hahaa

OK,kita langsung bahas saja tentang "Pendidikan Luar Biasa"
Tapi sebelum tahu apa itu Pendidikan Luar Biasa, saya pikir teman-teman harus tahu dulu apa itu anak luar biasa, sebagai objek utama dari jurusan kuliah ini.
Anak Luar Biasa (ALB) atau yang sekarang disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang memiliki tiga ketentuan berikut:

1. Anak memiliki penyimpangan berarti dari anak pada umumnya (kurang atau melebihi anak pada umumnya)
2. Penyimpangan tersebut membuat anak mengalami hambatan dalam kesehariannya termasuk dalam aspek akademik (pendidikan)
3. Karena hambatan tersebut seorang anak membutuhkan pelayanan khusus.

Jika ketiga ketentuan di atas ada pada diri anak, maka anak dikategorikan sebagai ABK. Jadi, ketika ada anak yang memiliki hambatan fisik maupun intelejensi tetapi tidak memiliki hambatan dalam kesehariannya, otomatis anak ini tidak membutuhkan pelayanan dan pendidikan khusus dan tidak dikategorikan sebagai ABK.
Anak Berkebutuhan Khusus memiliki banyak kategori, kurang kebih ada sembilan macam ABK seperti yang tertulis di bawah ini.
1.    1. Anak Disabilitas Intelektual (Retardasi Mental), dulu disebut tunagrahita. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki intelejensi kurang dari rata-rata atau dengan IQ di bawah 70.
2.    2. Anak Disabilitas Pengelihatan, dulu disebut tunanetra. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki hambatan dalam pengelihatannya, baik itu secara keseluruhan (totally blind) maupun sebagian (low vision).
3.    3. Anak Disabilitas Pendengaran, dulu disebut tunarungu. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki hambatan pendengaran baik ringan maupun berat.
4.    4. Anak Disabilitas Tubuh dulu disebut tunadaksa. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki kondisi fisik yang menyimpang dari anak pada umumnya. Kondisi fisik ini dapat terjadi dalam berbagai macam dan dapat menghambat aktivitas anak.
5.    5. Anak Gangguan Emosi dan Tingkah Laku dulu disebut tunalaras. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki gangguan emosi dan penyimpangan tingkah laku berdasarkan sosial, adat, dan hukum.
6.    6. Anak Autis Anak dalam kategori ini adalah anak autis adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan otak yang kompleks dan signifikan (akan tetap seperti itu jika tidak ditangani) yang mempengaruhi perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku, semua gelaja autis ini terjadi. Anak autis memiliki ciri yang berbeda dari setiap individu, sehingga tidak ada ciri-ciri spesifik dalam anak autis.
7.    7. Anak Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif (GPPH) atau AttantionDeficit and Hiperactivity Disorder (ADHD) Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki gangguan pemusatan perhatian dan memiliki tingkat keaktifan jauh melebihi anak pada umumnya.
8.    8. Anak Kesulitan Belajar Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki hambatan dalam belajar karena disfungsi minimum otak.
9.    9. Anak Berbakat Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki kemampuan akademis atau nonakademis melebihi anak pada umumnya, biasanya anak-anak ini memiliki IQ di atas 130.
Kesembilan kategori ABK di atas memiliki perbedaan dalam kekhususannya. Antar ketegori ABK memerlukan pelayanan yang berbeda-beda sesuai dengan kekhususannya masing-masing dalam hal pendidikan. Oleh sebab itu dibutuhkan Guru Pendidikan Khusus yang sebelumnya berkuliah di Pendidikan Luar Biasa atau Pendidikan Khusus.

Pendidikan Luar Biasa atau Pendidikan Khusus
Dari penjelasan panjang di atas tentang anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah terbayangkah apa itu Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau Pendidikan Khusus (PKh)?
Yup. PLB atau PKh adalah jurusan kuliah yang di dalamnya teman-teman bisa belajar untuk mengajar kesembilan ABK di atas. di jurusan kuliah ini teman-teman akan mengenal Sembilan macam ABK dan belajar bagaimana mengajar mereka dengan kekhususan yang mereka punya.

Apa yang Akan Dipelajari?
Saat kuliah, teman-teman anak belajar terlebih dahulu kriteria dari kesembilan anak tersebut. Jadi, sebagai gambaran awal apa yang akan dipelajari di jurusan ini setidaknya teman-teman akan mempunyai Sembilan matakuliah perspektif atau pengantar yang masing-masing matakuliah ini akan membahas tentang macam-macam ABK secara detail.
Selain mempelajari kriteria ABK, teman-teman akan mendapatkan matakuliah lanjutan dari kesembilan macam ABK berupa matakuliah pembelajaran ABK dan matakuliah kompensatoris, tapi tidak semua macam ABK mempunyai kompensatoris. Contohnya untuk ABK Disabilitas Pengelihatan teman-teman akan belajar Perspektif Anak Disabilitas Pendengaran, Pembelajaran Anak Disabilitas Pendengaran, dan matakuliah kompensatorisnya seperti matakuliah Bahasa Isyarat (Sistem Komunikasi).
Setelah mempelajari seluruh macam ABK ini, teman-teman harus memilih kekhususan yang akan teman-teman geluti. Misalnya teman-teman ingin konsen dan mendalami pendidikan untuk anak kesulitan belajar, maka di semester IV atau semester VI (tergantung dari kampusnya) teman-teman akan memilih kekhususan ini dan konsen memperlajari tentang anak kesulitan belajar. Di kampus saya, kekhususan ini diambil di semester VI dan saya memilih konsen di kekhususan anak dengan autisme dan ADHD.

Prospeknya yang Tak Usah Ditanya!
Kuliah di PLB atau PKh tidak perlu khawatir tidak akan mendapatkan pekerjaan. Bukan bermaksud mendahulukan kehendak Tuhan. Sama sekali bukan. Karena memang sejak 2010 dicanangkan Sekolah Inklusif, lulusan PLB/PKh sangat dibutuhkan. Entah itu di SLB (Sekolah Luar Biasa) ataupun di sekolah umum yang menerima ABK.
Description: image
They need helps. (Sumber: http://disdik.depok.go.id/?p=120)
Tahukah teman-teman, jika teman-teman kuliah di jurusan PLB/PKh, sebelum teman-teman lulus kuliah pun, teman-teman akan mendapatkan banyak tawaran kerja untuk mengajar. Mengapa bisa begitu? Sebab dalam Sekolah Inklusif setiap ABK membutuhkan satu guru pendamping untuk dirinya. Jadi jika dalam sebuah SD tiap kelasnya ada minimal 2 ABK, itu artinya dibutuhkan dua guru pendamping dalam satu kelas, total 12 guru pendamping. Dan saat ini ada cukup banyak Sekolah Inklusif di Jabodetabek. Belum lagi tawaran mengajar les untuk ABK yang tak kalah banyaknya. Jika teman-teman sudah lulus, teman-teman bisa mengambil ‘tantangan’ yang lebih besar lagi seperti menjadi Guru Pendidikan Khusus atau Konselor Pendidikan Khusus di Sekolah Inklusif, Sekolah Alam, atau Homeschooling yang mana teman-teman akan dihadapkan tidak hanya pada satu anak, melainkan mengatasi anak yang ada di satu sekolah dan menjadi konsultan bagi guru-guru umum!
Jadi, sudah terbayang kan bagaimana besarnya peluang kerja untuk lulusan PLB/PKh?
Bisakah Jadi Terapis?
Apakah lulusan PLB/PKh hanya bisa menjadi guru? Bukan ‘hanya bisa’, melainkan memang dicetak untuk menjadi guru. Ingat, guru yang mendidik anak ini tidak hanya dari segi akademik tetapi juga behavior atau keseharian mereka. Mengajarkan anak-anak tentang apa saja yang ada di depannya dan yang terpenting adalah menjadikan anak-anak ini mandiri, tidak tergantung pada orangtua atau orang lain di sekitarnya.
Menjadi terapis, bukanlah prospek dari lulusan PLB/PKh, karena seperti nama jurusan kuliah ini: PENDIDIKAN. Maka di sini teman-teman akan menjadi pendidik, guru yang lebih dari sekadar guru biasa. Di sini teman-teman akan belajar menjadi guru yang harus memiliki kasih sayang dan sabar berlipat ganda dibandingkan guru biasa.

Sedikit ungkapan dari saya :
"Kita tak perlu menghitung,mengejar,atau mengemis tentang balasan dari kebaikan kita. karena tugas itu sudah di bebankan kepada malaikat utusan ALLAH SWT,kita hanya perlu terus berbuat baik dan semua timbal balik akan kita nikmati tanpa harus menghitungnya,mengejarnya atau bahkan mengemis itu semua."